Monday, September 30, 2013

Orbit Satelit

Orbit Satelit
Orbit Satelit

Sebuah satelit bisa dianggap sebagai proyektil yang bergerak mengelilingi benda lain; dalam hal ini adalah Planet Bumi. Bagaimana satelit bisa bergerak mengelilingi planet sementara satelit terpengaruh oleh gaya gravitasi? Bukankah jika dipengaruhi gravitasi, satelit akan terjatuh? Pertanyaan semacam ini bisa dijelaskan dengan mudah melalui penelitian fisika sederhana. Berikut adalah beberapa hal tentang satelit yang perlu Anda ketahui sebelum pembahasan lebih lanjut tentang orbit:
  1. Satelit adalah sebuah proyektil, yang hanya terpengaruh oleh gaya gravitasi. Artinya, satelit harus berada di ketinggian ideal dimana tekanan udara tidak lagi menjadi variabel yang perlu diperhitungkan. Di ketinggian tertentu di atmosfer, sama sekali tidak ada tekanan udara; satelit yang mengorbit Planet Bumi harus berada di tempat-tempat seperti itu.

  2. Satelit memang terpengaruh gravitasi dan satelit memang ber-akselerasi menuju planet Bumi. Tanpa keberadaan gravitasi, satelit justru akan berjalan lurus dan tidak bisa mengelilingi planet. Fakta ini sesuai dengan law of inertia hasil pemikiran Isaac Newton. Sebuah obyek yang sedang bergerak, akan terus bergerak dengan kecepatan yang sama menuju arah yang sama kecuali jika terpengaruh oleh gaya lain (misalnya gesekan, dorongan, gravitasi, dsb).

Salah satu tempat paling sesuai untuk peluncuran satelit adalah Bulan. Tempat ini memiliki gravitasi, tapi sama sekali tidak ada tekanan udara karena Bulan dikelilingi oleh ruang kosong (Bulan tidak memiliki atmosfer). Jika Anda menembakkan sebuah meriam dengan kecepatan yang tepat di Bulan, peluru meriam akan melaju sesuai bentuk bulan. Sekali lagi, kecepatan harus diperhitungkan secara tepat berdasarkan tingkat gravitasi dan bentuk Bulan.

Bumi memang tidak berbentuk bulat sempurna seperti Bola, tapi kurvatur planet secara umum bisa digambarkan seperti berikut.

Dalam setiap jarak 8000 meter, Bumi memiliki tingkat lengkungan sejauh 5 meter, seperti gambar di bawah ini.
Lengkungan Planet Bumi
Di Planet Bumi, satelit harus berada di ketinggian minimal 320 km dari permukaan laut untuk menghindari intervensi atmosfer. Teleskop Hubble berada di ketinggian sekitar 600 km, tapi prinsip ilmu terapannya masih sama. Kecepatan laju satelit harus sesuai dengan kurvatur Bumi, sehingga benda ini tetap berada di orbit walaupun sebenarnya terpengaruh oleh gravitasi. Secara sederhana, satelit sebenarnya jatuh ke arah Bumi, tapi tidak pernah menyentuh tanah.

Berdasarkan perhitungan di atas, satelit harus berjalan sejauh 8000 meter sebelum ketinggiannya turun 5 meter. Anggaplah satelit yang diluncurkan secara horizontal akan jatuh sejauh 5 meter pada detik pertama setelah diluncurkan. Untuk menghindari hal ini, kecepatan satelit harus mencapai 8000 meter per detik (8 km/s). Dengan kecepatan ini, satelit akan tetap jatuh menuju Bumi, tapi kurvatur planet secara alami membantu satelit agar tetap berada di orbit. Satelit buatan manusia memiliki cara berbeda-beda dalam mengitari planet termasuk polar dan geostationary.

Polar Orbit

Satelit yang berada di polar orbit melaju di atas Kutub Selatan atau Utara. Satelit seperti ini biasanya berada sekitar ribuan km di atas Bumi. Salah satu poin penting adalah bahwa satelit yang berada di polar orbit mampu mengelilingi Bumi sebanyak 14 kali dalam satu hari saja. Karena Bumi juga melakukan rotasi, satelit polar orbit bisa mencakup seluruh permukaan Bumi dalam beberapa hari saja.

Geostationary Orbit

Satelit yang berada di geostationary orbit mengelilingi orbitnya sekali dalam 24 jam. Biasanya satelit seperti ini digunakan untuk mencakup satu wilayah tertentu saja di permukaan Bumi. Supaya tetap berada di posisi sama di atas planet, satelit harus berada pada ketinggian 22,237 mil di atas permukaan planet. Satelit seperti ini biasa digunakan untuk TV. Salah satu keunggulan satelit di geostationary orbit adalah bahwa mereka bisa mengirimkan gambar/foto permukaan Bumi setiap 30 menit saja, sedangkan satelit polar orbit baru bisa mengirim gambar dalam setiap 6 – 12 jam.

Friday, September 20, 2013

Teknologi dan Lingkungan – Anthropocene

Teknologi dan Lingkungan – Anthropocene
Teknologi dan Lingkungan – Anthropocene

Istilah Anthropocene digunakan untuk menggambarkan sebuah periode baru di sepanjang perjalanan Planet Bumi dimana aktivitas manusia sangat mempengaruhi keadaan ekosistem planet. Anthropocene akan segera dimasukkan dalam Geologic Time Scale secara resmi. Aktivitas manusia termasuk perkembangan teknologi telah memberi pengaruh besar terhadap planet; manusia memiliki kemampuan luar biasa dalam beradaptasi, bahkan kita membentuk lingkungan agar menyesuaikan dengan kebutuhan kita untuk bertahan hidup.

Menurut para penggagas ide tentang Anthropocene, periode sekarang (Holocene) - dimulai 11.000 tahun lalu – diperkirakan akan selesai antara akhir abad ke-18 dan 1950an. Pada akhir abad ke-18 terjadi perubahan besar terutama peningkatan kandungan karbon dioksida dan gas rumah kaca lain secara drastis di atmosfer; penyebab utamanya adalah pembakaran bahan bakar fosil untuk kebutuhan energi industri dan teknologi.

Kita bisa menganggap bahwa awal dari berakhirnya periode Holocene terjadi pada tahun 1784 (akhir abad ke-18) saat James Watt menciptakan mesin uap, kemudian periode ini benar-benar berakhir saat radiasi nuklir meningkat pesat yang dipicu oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet saat melakukan banyak percobaan bom selama Perang Dingin (1950an).

Awal Periode Anthropocene

Ada beberapa fenomena geologi yang bisa dikatakan sebagai awal periode Anthropocene. Menurut ilmuwan astro-biologi David Grinspoon, penanda awal yang paling menarik adalah uji coba pertama bom atom. Peristiwa ini menciptakan penanda luar biasa besar, mempengaruhi struktur geologi planet.

Manusia memang telah merubah wajah planet jauh sebelum bom atom pertama kali dicoba misalnya dalam hal pertanian, polusi karbon dioksida, urbanisasi, dll. Spesies lain juga melakukan hal yang sama sejak dulu, tapi kita tidak melihat satupun yang sebesar pengaruh bom atom. Setelah peristiwa pengeboman Hiroshima, kita tidak bisa melihat Planet Bumi seperti sebelumnya.

Seperti Dinosaurus – Punah

Kepunahan selalu bisa terjadi, bisa secara alami ataupun karena pengaruh lain. Dengan keadaan seperti ini, bukan manusia yang terancam punah, tapi spesies lain. Seperti telah disebutkan pada posting sebelumnya, keanekaragaman mahkluk menjadi tantangan sekaligus tanggung jawab besar bagi manusia sebagai spesies dominan. Satu hal pasti adalah bahwa aktivitas yang dilakukan generasi sekarang akan terus diingat oleh banyak generasi selanjutnya.

Contoh paling mudah adalah terumbu karang. Proses pengasaman air laut karena aktivitas manusia akan dengan cepat menghilangkan keberadaan mereka. Air laut memiliki kamampuan menyerap karbon dioksida dari atmosfer; semakin banyak CO2 yang terserap, struktur kimia air laut akan berubah dan tingkat keasamannya akan semakin tinggi. Terumbu karang akan mengalami kesulitan menyerap kalsium karbonat, yang sangat penting untuk mempertahankan struktur tulang mereka. Bebatuan yang menjadi tempat hidup merekapun juga akhirnya akan hancur karena tingginya asam.

Sebenarnya terumbu karang pernah punah sebelumnya dan bisa kembali muncul, tapi proses ini membutuhkan waktu yang sangat lama. Proses kepunahan terumbu karang yang terjadi sekarang akan terus diingat sebagai hasil aktivitas manusia terutama berkaitan dengan polusi.

Dalam beberapa hal, Anthropocene mungkin bisa dianggap mirip dengan K/T boundary (peristiwa kepunahan Dinosaurus), dimana Planet Bumi kemudian mengalami proses transisi menjadi tempat yang nyaman bagi mamalia. Perbedaan yang paling besar adalah K/T boundary memusnahkan hampir semua spesies, sedangkan Anthropocene dimulai oleh manusia dan membahayakan spesies lain. Di saat-saat terburuk, manusia mungkin juga akan terancam hilang, tapi hal ini masih bisa dicegah jika langkah-langkah antisipasi dengan segera diterapkan.

Jenis Kehidupan Buatan

Banyak spesies telah punah, tapi manusia mungkin bisa mengembalikan keberadaan mereka dengan menerapkan teknologi modern misalnya nano-robot, transgenetik, bahkan kehidupan sintetik. Secara awam, hal ini memang baik, tapi tidak demikian dari sudut pandang biologi. Teknologi semacam itu sangat beresiko, karena bisa mengubah atau bahkan merusak ekosistem alami. Jika sebuah spesies punah, maka hal itu disebabkan karena lingkungan mereka yang tidak mendukung. Jika kita ingin menghidupkan lagi spesies tersebut, maka kita juga harus menyediakan habitat yang tepat; di sisi lain, proses evolusi akan berhenti.

Wednesday, September 18, 2013

Teknologi dan Lingkungan

Teknologi dan Lingkungan
Teknologi dan Lingkungan

Teknologi bisa mengembangkan bentuk kehidupan manusia, meningkatkan produktivitas, memudahkan proses interaksi, bahkan membawa kita ke luar angkasa; di saat yang sama, teknologi juga memperburuk keadaan lingkungan dan mengancam kelestarian alam termasuk kelangsungan hidup hampir semua spesies.

Charles Dickens pernah menulis: “These are the best of times, these are the worst of times.” (sekarang adalah saat-saat terbaik, juga terburuk).

Banyak pertanyaan tentang teknologi, kebanyakan tentang bagaimana manusia bisa terus meningkatkan kegunaannya dalam kehidupan. Kita melihat teknologi baru hampir setiap hari; hidup berjalan cepat, pekerjaan terselesaikan dengan lebih mudah, penyakit bisa disembuhkan. Di sisi lain, hanya sebagian orang yang melihat kemajuan teknologi dari skala yang lebih luas terutama tentang pengaruhnya terhadap alam. Untuk menjaga kelestarian alam dan kelangsungan hidup berbagai macam spesies di dalamnya, harus ada banyak sekali aspek-aspek alami yang masih harus dipertahankan; dijauhkan dari pengaruh buruk perkembangan teknologi.

Bisakah manusia bertahan dengan bentuk kehidupan masa depan yang dipenuhi mesin, teknologi nirkabel, robot, dan sebagainya? Semua bentuk teknologi dimaksudkan untuk membantu segala macam kegiatan manusia. Apakah bentuk kehidupan modern mendukung atau justru melemahkan kemampuan adaptasi kita dengan lingkungan? Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang berusaha dijawab oleh sekumpulan ilmuwan dalam sebuah simposium yang diadakan di Library of Congress, Washington, tanggal 12 September lalu.

Ilmuwan astro-biologi bernama David Grinspoon mengatakan bahwa ciri utama yang dimiliki spesies manusia adalah kemampuan besar dalam beradaptasi. Pertanyaannya adalah, “bisakah manusia mempertahankan kemampuan itu?”

Grinspoon menambahkan, “manusia mungkin tidak bisa memprediksi bentuk kehidupan masyarakat modern di masa depan, tapi kita bisa memperoleh gambaran cukup jelas tentang itu dari model sains, penelitian sejarah, dan tentu saja, imajinasi.”

Beberapa ilmuwan telah mulai menggunakan istilah baru “anthropocene” yaitu periode geologi dalam sejarah Bumi dimana aktivitas manusia berpengaruh sangat besar di ekosistem planet. Salah satu masalah paling besar yang harus dihadapi adalah keanekaragaman. Tentu saja banyak pihak yang melakukan usaha konservasi hewan dan tumbuhan misalnya harimau dan badak, tapi bagaimana dengan spesies-spesies lain? Seorang wartawan yang juga merupakan partisipan dalam diskusi itu, David Biello dari Scientific American, mengatakan “Pada akhirnya kita hanya akan melihat satu jenis kupu-kupu saja”.

Kupu-kupu menjadi topik hangat dalam pembicaraan itu, saat panelis mulai membahas tujuan utama pelestarian spesies. Seorang ilmuwan bernama Odile Madden bertanya, “Apakah kupu-kupu berhak dilestarikan hanya karena sekarang memang ada kupu-kupu”?

Biello mengungkapakan bahwa manusia harus bisa mempertahankan atau menyimpan informasi genetik kupu-kupu dan semua jenis binatang lain. Dia juga berharap semua informasi tentang bagaimana segala jenis mahkluk berinteraksi dengan alam dipertahankan.

Manusia

Manusia telah berkembang menjadi mahkluk dominan di planet ini; kita berrada di puncak rantai makanan selama ribuan tahun. Kita bahkan bisa menganggap kemampuan manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan terlalu besar; kita bahkan bisa merubah atau memaksa lingkungan untuk beradaptasi dengan kita. Sejauh ini, masih banyak organisme yang selamat dan hidup, tapi untuk terus mempertahankan keanekaragaman mahkluk, manusia harus bisa melihat dirinya sebagai bagian dari planet dan sebagai satu spesies diantara yang lain.

Rick Potts berhasil memberikan setidakanya deskripsi awal tentang bagaimana manusia harus bersikap. Dia adalah seorang ilmuwan paleo-antropologi sekaligus kurator di National Museum of Natural History. Potts memberikan gambaran tentang ini melalui “tragedy of the commons” yaitu sebuah konsep ekonomi dimana manusia menghiraukan hilangnya sumber daya alam karena sifat manusia yang mengedepankan dirinya sendiri, dan tidak menganggap bahwa dia adalah bagian dari sebuah kelompok besar.

Potts juga mengatakan bahwa manusia, didukung kecerdasan dan kemampuan beradaptasi, telah berhasil membangun dinding pemisah antara kehidupan alam dan kehidupan manusia, tapi di sisi lain proses evolusi seperti ini adalah fenomena alami.

Diskusi lebih lanjut tentang “anthropocene” akan ada di posting selanjutnya.