Thursday, November 14, 2013

Corporate Social Responsibility – Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Corporate Social Responsibility - Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Corporate Social Responsibility - Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Sekitar 20 tahun lalu, program CSR atau Corporate Social Responsibility telah mulai melebarkan tujuan, dari sifat-sifat pengembangan kesejahteraan karyawan perusahaan serta semua pihak yang terkena dampak aktivitas perusahaan tersebut sampai mencakup semua jenis bentuk kepedulian terhadap kelestarian lingkungan. Kerjasama dengan banyak organisasi non-profit termasuk dalam rencana kerja, tapi semua itu hanya bersifat sukarela saja; tidak ada kewajiban untuk melakukan itu. Pada awal perkembangannya, CSR justru hanya menjadi alat untuk mendorong reputasi perusahaan. Di beberapa tahun terakhir, pola kerjasama seperti seperti ini telah diubah dan sekarang telah menjadi kewajiban perusahaan untuk menerapkan CSR secara menyeluruh baik dalam hal ekonomi maupun konservasi alam.

Sekarang telah terbukti bahwa sebenarnya peningkatan reputasi perusahaan melalui CSR sangat efektif dan berguna. Bahkan kepedulian terhadap lingkungan bisa dikatakan sebagai bentuk bisnis baru, dengan tujuan untuk menunjukkan atau menjaga nama baik perusahaan di mata konsumen. Peduli terhadap karyawan, masyarakat, dan lingkungan adalah hal yang sangat bermanfaat untuk kelangsungan hidup perusahaan, tapi masih banyak pelaku atau pemilik usaha yang belum sepenuhnya menyadari hal itu.

Planet Bumi memiliki batas kemampuan menyediakan atau memperbarui sumber daya alam, sedangkan populasi manusia yang bertambah terus mendorong tingkat konsumsi. Berdasarkan perhitungan oleh Global Footprint Network, diketahui bahwa saat populasi manusia mencapai jumlah 7 sampai 9 miliar, setiap tahun kita memakai lebih banyak SDA daripada yang bisa disediakan Bumi; secara sederhana, dalam memenuhi kebutuhan barang dan jasa untuk 7 – 9 miliar manusia modern, Bumi harus memperbarui SDA-nya satu setengah kali lebih cepat. Hal ini tidak mungkin dilakukan.

Saat ini semakin banyak perusahaan besar menyadari dampak buruk aktivitas mereka bagi lingkungan, dan telah menerapkan CSR secara benar. Tanggung jawab sosial bukan hanya sebagai salah satu aktivitas perusahaan dan inisiatif sukarela, tapi telah menjadi ethos kerja mereka; lingkungan yang kita tinggali telah menunggu terlalu lama untuk hal ini. Penerapan CSR memang telah menjadi semakin terarah, tapi dengan melihat keadaan lingkungan yang sekarang, kita merasa CSR tidak lagi cukup. Aturan perundang-undangan tentang CSR mengharuskan pelaku usaha untuk berkomitmen melestarikan lingkungan. Dengan kata lain, menjaga ketersediaaan sumber daya alam hanya sebagai salah satu aktivitas dalam agenda besar perusahaan.

Ketika CSR dianggap tidak lagi cukup untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu menjaga kelestarian alam dan ketersediaan SDA, perusahaan-perusahaan cerdas telah beralih ke SRC (Socially Responsible Corporations); menjaga kelestarian alam adalah inti dan tujuan kegiatan mereka. Kemungkinan kelangkaan bahan mentah dan bahan bakar untuk distribusi menjadi ancaman besar bagi mereka dan harus dianggap sebagai masalah utama yang harus secepatnya diselesaikan.

Tidak ada satu pun korporasi bisa menjamin ketersediaan jangka panjang bahan mentah produksi untuk masa mendatang. Ini adalah tantangan yang harus dihadapai dan diselesaikan secara bersama. Beberapa perusahaan besar berorientasi ke masa depan, menyadari masalah yang ada, dan pengaruhnya untuk mereka. Inilah sebabnya sekarang banyak tercipta kerjasama antara perusahaan besar dan organisasi non-pemerintah (NGO = Non-governmental Organization), juga semakin banyak korporasi memilih berinvestasi untuk menciptakan inovasi dalam rantai distribusi bahan mentah daripada sekedar memberi solusi instan bersifat temporer.

Sebagai contoh adalah kerjasama jangka panjang oleh WWF (World Wildlife Fund) dan Coca-Cola. WWF memberi gambaran rantai distribusi bahan baku Coca-Cola, dan ternyata merupakan informasi yang sebelumnya belum pernah didapatkan perusahaan besar ini. Atas dasar informasi tersebut, Coca-Cola merubah jalur distribusi, berpindah menghindari tempat yang saat itu sedang berusaha dikonservasi oleh WWF.

Bentuk sukses seperti itu tidak mungkin dicapai tanpa kerjasama kedua pihak, tentu saja demi kepentingan lingkungan. Masyarakat tidak boleh melihat hal tersebut serta merta untuk menunda perubahan iklim ekstrim (walaupun WWF dan Coca-Cola memang memperhatikan hal ini), tetapi juga menganggap Coca-Cola sebagai teladan, mengikuti cara perusahaan besar ini dalam mempertahankan distribusi bahan baku tanpa merusak lingkungan. WWF dan Coca-Cola sadar bahwa merubah tanah atau habitat alami menjadi komoditas produksi bisa dengan cepat menghancurkan ekosistem, mengakibatkan polusi udara, dan berpengaruh buruk bagi kehidupan.

Selain poin di atas, masyarakat harus tahu bahwa kesuksesan kerjasama tersebut lepas dari campur tangan pemerintah. Coca-Cola adalah perusahaan komersial, sedangkan WWF adalah organisasi non-pemerintah. Peran regulasi sangat penting, tapi masyarakat tidak boleh hanya mengandalkan kebijakan pemerintah. Kabinet dalam pemerintahan sering berubah, seorang presiden bisa bertahan paling lama dua masa periode jabatan, dan visi negara bisa berubah seiring bergantinya pemimpin. Sedangkan korporasi komersial seperti Coca-Cola telah dikenal dan menetapkan dirinya di mata masyarakat dunia.

Korporasi cerdas melihat jauh ke rentang waktu puluhan tahun ke depan, dan sadar akan ketimpangan antara jumlah kebutuhan bahan baku/mentah dan kebutuhan produksi. Untuk menjaga tingkat keuntungan secara komersial, korporasi mengerti bahwa jika ingin terus menjual barang produksi kepada konsumen, maka diperlukan pengaturan sempurna dalam menjaga ketersediaan bahan mentah; realisasi strategi ini membutuhkan kerja sama dengan pihak lain, bahkan untuk korporasi sekelas Coca-Cola.

WWF dan Coca-Cola tahu bahwa untuk mengembalikan lingkungan ke kondisi optimal, sektor perusahaan harus menjadi yang terdepan, bekerja sama dengan organisasi non-pemerintah, komunitas di masyarakat, pemegang saham, dan tentu saja pemerintah. Keterkaitan semua pihak tersebut dan komitmen mereka memberi harapan besar terciptanya kondisi lingkungan yang baik dan implementasi semua strategi bisa dilakukan dalam jangka panjang. Setiap pihak terkait memang memiliki kepentingan sendiri, tapi tujuan akhir mereka adalah sama.

Pada akhir tahun 2012, The Coca-Cola Company berhasil mengurangi penggunaan air sampai 20% diseluruh sistem kerja mereka, dibandingkan saat mereka beroperasi pada tahun 2004. Karena peningkatan efisiensi produksi ini, reputasi perusahaan dan kerjasama di masyarakat bisa terjaga dengan baik, selain itu juga menciptakan banyak peluang usaha baru.

Wednesday, November 13, 2013

Planet Bumi dan Manusia – Produsen dan Konsumen

Planet Bumi dan Manusia
Planet Bumi dan Manusia

Bentuk hubungan Planet Bumi dan manusia sudah bukan lagi seperti rumah dan penghuninya; sekarang telah beralih menjadi seperti produsen dan konsumen. Kemampuan planet ini menyediakan sumber daya alam untuk jangka waktu setahun, ternyata lebih kecil dibandingkan dengan kemampuan manusia mengkonsumsinya. Menurut Global Footprint Network, wacana ketersediaan SDA sebenarnya sudah mulai diperhitungkan sejak tahun 1975. Bahkan Global Footprint Network setiap tahun menandai hari dan tanggal tertentu, dimana manusia telah menghabiskan SDA yang seharusnya dipakai untuk jangka waktu setahun, dan sering disebut sebagai Earth Overshoot Day.

Secara berurutan dalam 2 dekade terakhir, Earth Overshoot Day jatuh pada tanggal 21 Oktober 1993 dan 22 September 2003. Sedangkan tahun ini jatuh pada tanggal 20 Agustus, artinya setelah tanggal itu manusia harus berada dalam keadaan defisit SDA sampai tahun ini berakhir.

Global Footprint Network menghitung kemampuan Bumi menyediakan SDA (yang dapat diperbarui) dalam setahun, juga jumlah konsumsi total populasi manusia. Hasilnya menunjukkan bahwa kebutuhan konsumen dalam setahun ternyata jauh lebih besar daripada kemampuan produsen memperbarui sumber daya alam yang telah digunakan. Bukan hanya ketersediaan SDA yang terkuras, tapi juga kemampuan Bumi menyerap karbon untuk mencegah peningkatan suhu permukaan planet.

Bumi yang seharusnya menjadi rumah, sekarang tidak bisa lagi menunjang kebutuhan penghuninya. Populasi manusia semakin meningkat, kebutuhan akan SDA juga bertambah, dan sampai sekarang kita hanya punya satu planet untuk ditinggali.

Ada sekitar 4.1 miliar manusia pada tahun 1975, dan konsumsi SDA yang mereka butuhkan dalam setahun masih berada dalam batas kemampuan Planet Bumi; selain itu, jumlah karbon yang dilepaskan ke atmosfer masih bisa diserap dengan baik. Sekarang ada lebih dari 7.3 miliar orang di Planet Bumi, dan setiap tahun Earth Overshoot Day selalu jatuh lebih awal, sekitar 1 sampai 2 hari lebih cepat dibandingkan tahun sebelumnya.

Saat ini populasi manusia menggunakan 38% bagian planet untuk bercocok tanam atau beternak. Banyak dari lahan pertanian tersebut yang dulunya berupa padang rumput. Begitu banyak habitat telah hilang karena proses bercocok tanam itu; padang rumput adalah habitat paling rentan punah dan paling tidak terlindungi di Planet Bumi. Proses ekspansi atau perluasan lahan pertanian di masa depan diperkirakan akan berada di wilayah tropis. Proses seperti ini juga akan menghilangkan banyak sekali habitat di hutan tropis untuk menciptakan lahan pertanian baru, perkembangbiakan ternak, pembangunan pabrik kelapa sawit, dan kilang minyak bumi.

Populasi manusia diperkirakan mencapai 9 miliar di tahun 2050, mengakibatkan permintaan akan makanan, air, dan energi menjadi dua kali lipat, mungkin peningkatan kebutuhan SDA secara keseluruhan bisa mencapai 150%.

Bagaimanapun juga, manusia tidak bisa lepas dari kebutuhan sumber daya alam seperti makanan, air, dan energi. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan efisiensi penggunaan, bukan lagi ekstensifikasi tetapi intensifikasi; menggunakan sedikit sumber daya untuk memenuhi lebih banyak kebutuhan. Intensifikasi dilakukan bukan hanya di bidang pertanian, misalnya dengan menggunakan sedikit air dan lahan untuk menumbuhkan lebih banyak makanan. Implementasi hal serupa juga harus ada dalam penggunaan bahan bakar minyak, misalnya dengan peningkatan efisiensi mesin kendaraan dan sebagainya.

Salah satu hal terbaik yang telah dilakukan adalah dengan menerapkan CSR (Corporate Social Responsibility), dimana perusahaan besar harus berperan aktif atau bertanggung jawab terhadap semua pihak yang terkena dampak aktivitas perusahaan tersebut. Contoh yang paling tepat adalah kerjasama yang dilakukan oleh The Better Cotton Initiative dan WWF (World Wildlife Fund); mereka mengedepankan dan bekerja sama dengan para petani unutk mengatur pengolahan lahan kapas. Dalam jangka waktu 5 tahun dari 2005 sampai 2010, kerjasama ini menunjukkan hasil luar biasa. Penggunaan pestisida berkurang sampai 60%, penggunaan air turun sampai 40%, dan pemakaian pupuk sintetik juga dikurangi sebanyak 30%. Para petani ternyata juga memperoleh peningkatan keuntungan dari 15% sampai 20%.

Hal ini baik untuk petani juga untuk Planet Bumi, karena kapas menggunakan 24% dari seluruh jumlah insektisida di dunia dan menguasai 11% pasar pestisida, sedangkan 73% kapas diprosuksi di tanah irigasi. Kerjasama antara The Better Cotton Initiative dan WWF mungkin tidak terlalu banyak berpengaruh dalam skala global, tapi konsep CSR seperti ini telah dilakukan banyak perusahaan besar untuk menjaga ketersediaan SDA dan keanekaragaman habitat di Planet Bumi.